BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Kata
fenomenologi berasal dari bahasa Yunani, phenomenon, yaitu sesuatu
yang tampak, yang terlihat karena berkecakupan. Dalam bahasa indonesia
biasa dipakai istilah gejala. Secara istilah, fenomenologi adalah ilmu
pengetahuan (logos) tentang apa yang tampak. Dari pengertian tersebut
dapat dipahami bahwa fenomenologi adalah suatu aliran yang membicarakan
fenomena atau segala sesuatu yang tampak atau yang menampakkan diri.[1]
Seorang
Fenomenolog suka melihat gejala. Dia berbeda dengan seorang ahli ilmu positif
yang mengumpulkan data, mencari korelasi dan fungsi, serta membuat hukum-hukum
dan teori. Fenomenolog bergerak di bidang yang pasti. Hal yang menampakkan
dirinya dilukiskan tanpa meninggalkan bidang evidensi yang langsung.
Fenomenologi adalah suatu metode pemikiran, “a way of looking at things”.
Dari
keterangan di atas dapat dipahami bahwa fenomenologi ini mengacu kepada
analisis kehidupan sehari-hari dari sudut pandang orang yang terlibat di
dalamnya. Tradisi ini memberi penekanan yang besar pada persepsi dan
interpretasi orang mengenai pengalaman mereka sendiri. Fenomenologi melihat
komunikasi sebagai sebuah proses membagi pengalaman personal melalui dialog
atau percakapan. Bagi seorang fenomenolog, kisah seorang individu adalah lebih
penting dan bermakna daripada hipotesis ataupun aksioma. Seorang penganut
fenomenologi cenderung menentang segala sesuatu yang tidak dapat diamati.
Fenomenologi juga cenderung menentang naturalisme (biasa juga disebut
objektivisme atau positivisme). Hal demikian dikarenakan Fenomenolog cenderung
yakin bahwa suatu bukti atau fakta dapat diperoleh tidak hanya dari dunia
kultur dan natural, tetapi juga ideal, semisal angka, atau bahkan kesadaran
hidup.[2]
Jelasnya,
fenomenologi mencoba menepis semua asumsi yang mengkontaminasi pengalaman
konkret manusia. Ini mengapa fenomenologi disebut sebagai cara berfilsafat yang
radikal. Fenomenologi menekankan upaya menggapai “hal itu sendiri” lepas dari
segala presuposisi. Langkah pertamanya adalah menghindari semua
konstruksi, asumsi yang dipasang sebelum dan sekaligus mengarahkan pengalaman.
Tak peduli apakah konstruksi filsafat, sains, agama, dan kebudayaan, semuanya
harus dihindari sebisa mungkin. Semua penjelasan tidak boleh dipaksakan sebelum
pengalaman menjelaskannya sendiri dari dan dalam pengalaman itu sendiri.[3]
Fenomenologi menekankan perlunya filsafat melepaskan diri dari ikatan historis
apapun, apakah itu tradisi metafisika, epistimologi, atau sains. Program utama
fenomenologi adalah mengembalikan filsafat ke penghayatan sehari-hari subjek
pengetahuan. Kembali ke kekayaan pengalaman manusia yang konkret, lekat, dan
penuh penghayatan. Selain itu, fenomenologi juga menolak klaim
representasionalisme epistimologi modern. Dengan demikian, fenomenologi yang
dipromosikan Husserl ini dapat disebut sebagai ilmu tanpa presuposisi.
Hal ini jelas bertolak belakang dengan modus filsafat sejak Hegel menafikan
kemungkinannya ilmu pengetahuan tanpa presuposisi, dimana presuposisi
yang menghantui filsafat selama ini adalah naturalisme dan psikologisme.[4]
Dalam
perkembangannya, munculnya filsafat fenomenologi telah memberikan pengaruh yang
sangat luas, dimana hampir semua disiplin keilmuan mendapatkan inspirasi dari
fenomenologi. Psikologi, sosiologi, antropologi, arsitektur sampai penelitian
tentang agama semuanya memperoleh nafas baru dengan munculnya fenomenologi.
B. Rumusan Masalah
Dari pemaparan latar belakang masalah yang pemakalah
paparkan diatas, maka pemakalah memberikan rumusan masalah sebagai berikut :
1.
Siapa tokoh aliran filsafat fenomenologi?
2.
Apa pemikiran yang ada dalam
fenomenologi?
C.
Tujuan
dan Kegunaan
Tujuan dan kegunaan dari pembuatan makalah ini adalah
sebagai berikut :
1. Dapat
mengetahui tokoh aliran filsafat fenomenologi
2. Dapat
memahami konsep aliran fenomenologi
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Biografi Tokoh
Edmund
Gustav Albrecht Husserl dilahirkan pada tanggal 8 April 1859 di Prostějov, Moravia, Ceko (yang saat itu
merupakan bagian dari Kekaisaran Austria). Ia adalah seorang filsuf Jerman yang
dikenal sebagai bapak fenomenologi. Karyanya meninggalkan orientasi
yang murni positivis dalam sains dan filsafat pada
masanya, dan mengutamakan pengalaman subyektif sebagai sumber dari semua
pengetahuan kita tentang fenomena obyektif. Ia dilahirkan dalam sebuah keluarga
Yahudi
di Prostějov (Prossnitz).
Husserl
adalah murid Franz Brentano dan Carl Stumpf; karya filsafatnya
mempengaruhi, antara lain, Edith Stein (St. Teresa Benedicta dari Salib),
Eugen Fink, Max Scheler, Martin
Heidegger, Jean-Paul Sartre, Emmanuel Lévinas, Rudolf Carnap, Hermann Weyl, Maurice Merleau-Ponty, dan
Roman Ingarden. Pada tahun 1886 dia
mempelajari psikologi dan banyak menulis tentang fenomenologi. Tahun 1887
Husserl berpindah agama menjadi Kristen dan bergabung dengan Gereja
Lutheran.
Ia mengajar
filsafat di Halle sebagai seorang tutor (Privatdozent) dari tahun
1887, lalu di Göttingen sebagai profesor dari 1901, dan di Freiburg im Breisgau
dari 1916 hingga ia pensiun pada 1928. Setelah itu, ia melanjutkan
penelitiannya dan menulis dengan menggunakan perpustakaan di Freiburg, hingga
kemudian dilarang menggunakannya karena ia keturunan Yahudi yang saat itu
dipimpin oleh rektor, dan sebagian karena pengaruh dari bekas muridnya, yang
juga anak emasnya, Martin Heidegger.[5]
Husserl meninggal dunia di Freiburg pada tanggal 27 April 1938 dalam usia 79
tahun akibat penyakit pneumonia.[6]
B. Pemikiran Edmund Husserl
Sebagai studi
filsafat, fenomenologi dikembangkan di universitas-universitas Jerman sebelum
Perang Dunia I, khususnya oleh Edmund Husserl; kemudian dilanjutkan oleh Martin
Heidegger, Max Scheler dan yang lainnya. Bahkan Jean-Paul Sartre pun memasukkan
fenomenologi dalam eksistensialisme-nya.[7]
Istilah
“Fenomenologi” pertama kali digunakan oleh J. H. Lambert (1728-1777). Kemudian
istilah itu juga digunakan oleh Immanuel Kant, Hegel serta sejumlah filosof
lain. Namun semuanya mengartikan istilah fenomenologi secara berbeda. Baru
Edmund Husserl yang memakai istilah fenomenologi secara khusus dengan
menunjukkan metode berpikir secara tepat.[8]
Contoh misalnya, dalam karya Hegel yang berjudul “Phenomenolgy of
Spirit”. Pemaknaan Hegel terhadap teori “fenomena” dalam buku ini berbeda
dengan “fenomena” menurut Husserl. Menurut Hegel, “fenomena” yang kita alami
dan tampak pada kita merupakan hasil kegiatan yang bermacam-macam dan runtutan
konsep kesadaran manusia serta bersifat relatif terhadap budaya dan sejarah.
Husserl menolak pandangan Hegel mengenai relativisme fenomena budaya dan
sejarah, namun dia menerima konsep formal fenomenologi Hegel serta
menjadikannya prinsip dasar untuk perkembangan semua tipe fenomenologi:
fenomenologi pengalaman adalah apa yang dihasilkan oleh kegiatan dan
susunan kesadaran kita.
Menurut Husserl,
fenomena adalah realitas sendiri yang tampak, tidak ada selubung atau tirai
yang memisahkan subyek dengan realitas, karena realitas itu sendiri yang tampak
bagi subyek. Dengan pandangan seperti ini, Husserl mencoba mengadakan semacam
revolusi dalam filsafat Barat. Hal demikian dikarenakan sejak Descartes,
kesadaran selalu dipahami sebagai kesadaran tertutup (cogito tertutup),
artinya kesadaran mengenal diri sendiri dan hanya melalui jalan itu dapat
mengenal realitas. Sebaliknya Husserl berpendapat bahwa kesadaran terarah pada
realitas, dimana kesadaran bersifat “intensional”, yakni realitas yang
menampakkan diri.
Sebagai seorang
ahli fenomenologi, Husserl mencoba menunjukkan bahwa melalui metode
fenomenologi mengenai pengarungan pengalaman biasa menuju pengalaman murni, kita
bisa mengetahui kepastian absolut dengan susunan penting aksi-aksi sadar kita,
seperti berpikir dan mengingat, dan pada sisi lain, susunan penting obyek-obyek
merupakan tujuan aksi-aksi tersebut. Dengan demikian filsafat akan
menjadi sebuah “ilmu setepat-tepatnya” dan pada akhirnya kepastian akan diraih.
Lebih jauh lagi
Husserl berpendapat bahwa ada kebenaran untuk semua orang dan manusia
dapat mencapainya. Dan untuk menemukan kebenaran ini, seseorang harus kembali
kepada “realitas” sendiri. Dalam bentuk slogan, Husserl menyatakan “Zuruck
zu den sachen selbst” kembali kepada benda-benda itu sendiri, merupakan
inti dari pendekatan yang dipakai untuk mendeskripsikan realitas menurut apa
adanya. Setiap obyek memiliki hakekat, dan hakekat itu berbicara kepada kita, jika kita membuka diri kepada gejala-gejala yang kita
terima. Kalau kita mengambil jarak dari obyek itu, melepaskan
obyek itu dari pengaruh pandangan-pandangan lain, dan gejala-gejala itu kita
cermati, maka obyek itu ”berbicara” sendiri mengenai hakekatnya, dan kita
memahaminya berkat intuisi dalam diri kita.
Namun demikian,
yang perlu dipahami adalah bahwa benda, realitas, ataupun obyek tidaklah secara
langsung memperlihatkan hakekatnya sendiri. Apa yang kita temui pada
“benda-benda” itu dalam pemikiran biasa bukanlah hakekat. Hakekat benda itu ada
di balik yang kelihatan itu. Karena pemikiran pertama (first look) tidak
membuka tabir yang menutupi hakekat, maka diperlukan pemikiran kedua (second
look). Alat yang digunakan untuk menemukan pada pemikiran kedua ini adalah
intuisi dalam menemukan hakekat, yang disebut dengan wesenchau, melihat
(secara intuitif) hakekat gejala-gejala.
Dalam melihat
hakekat dengan intuisi ini, Husserl memperkenalkan pendekatan reduksi,
yakni penundaan segala pengetahuan yang ada tentang obyek sebelum pengamatan
itu dilakukan.[9]
Reduksi ini juga dapat diartikan sebagai penyaringan atau pengecilan. Reduksi
ini merupakan salah satu prinsip dasar sikap fenomenologis, dimana untuk
mengetahui sesuatu, seorang fenomenolog bersikap netral dengan tidak
menggunakan teori-teori atau pengertian-pengertian yang telah ada sehingga
obyek diberi kesempatan untuk “berbicara tentang dirinya sendiri”.
Lebih lanjut
dijelaskan bahwa fenomena dipandang dari dua sudut. Pertama, fenomena
selalu “menunjuk ke luar” atau berhubungan dengan realitas di luar pikiran. Kedua,
fenomena dari sudut kesadaran kita, karena selalu berada dalam kesadaran kita.
Maka dalam memandang fenomena harus terlebih dahulu melihat “penyaringan”
(ratio), sehingga mendapatkan kesadaran yang murni. Fenomenologi menghendaki
ilmu pengetahuan secara sadar mengarahkan untuk memperhatikan contoh tertentu
tanpa prasangka teoritis lewat pengalaman-pengalaman yang berbeda dan bukan
lewat koleksi data yang besar untuk suatu teori umum di luar substansi
sesungguhnya.[10]
Fenomenologi adalah
ilmu tentang esensi-esensi kesadaran dan esensi ideal dari obyek-obyek sebagai
korelasi kesadaran, Pertanyaannya adalah bagaimana caranya agar esensi-esensi
tersebut tetap pada kemurniannya, karena sesungguhmya Fenomenologi menghendaki
ilmu pengetahuan secara sadar mengarahkan untuk memperhatikan contoh tertentu
tanpa prasangka teoritis lewat pengalaman-pengalaman yang berbeda dan bukan
lewat koleksi data yang besar untuk suatu teori umum di luar substansi
sesungguhnya, dan tanpa terkontaminasi kecenderungan psikologisme dan
naturalisme. Husserl mengajukan satu prosedur yang dinamakan epoche (penundaan
semua asumsi tentang kenyataan demi memunculkan esensi). Tanpa penundaan asumsi
naturalisme dan psikolgisme, kita akan terjebak pada dikotomi (subyek-obyek
yang menyesatkan atau bertentangan satu sama lain).
Contohnya, saat
mengambil gelas, kita tidak memikirkan secara teoritis (tinggi, berat, dan
lebar) melainkan menghayatinya sebagai wadah penampung air untuk diminum. Ini
yang hilang dari pengalaman kita, kalau kita menganut asumsi naturalisme. Dan ini yang
kembali dimunculkan oleh Husserl. Akar filosofis fenomenologi Husserl ialah
dari pemikiran gurunya, Franz Brentano. Dari Brentanolah Husserl mengambil
konsep filsafat sebagai ilmu yang rigoris
(sikap pikiran dimana dalam pertentangan pendapat mengenai boleh tidaknya suatu
tindakan atau bersikeras mempertahankan pandangan yang sempit dan ketat).
Sebagaimana juga bahwa filsafat terdiri atas deskripsi dan bukan penjelasan
kausal. Karena baginya fenomenologi bukan hanya sebagai filsafat tetapi juga
sebagai metode, karena dalam fenomenologi kita memperoleh langkah-langkah dalam
menuju suatu fenomena yang murni.[11]
Menurut Husserl
“prinsip segala prinsip” ialah bahwa hanya intuisi langsung (dengan tidak
menggunakan pengantara apapun juga) dapat dipakai sebagai kriteria terakhir
dibidang filsafat. Hanya saja apa yang secara langsung diberikan kepada kita
dalam pengalaman dapat dianggap benar “sejauh diberikan”. Dari situ
Husserl menyimpulkan bahwa kesadaran harus menjadi dasar filsafat. Alasannya
ialah bahwa hanya kesadaran yang diberikan secara langsung kepada kita sebagai
subjek.
“Fenomen”
merupakan realitas sendiri yang tampak, tidak ada selubung yang memisahkan
realitas dari kita. Kesadaran menurut kodratnya mengarah pada realitas.
Kesadaran selalu berarti kesadaran akan sesuatu. Kesadaran menurut kodratnya
bersifat intensionalitas, karena intensionalitas merupakan unsur hakiki
kesadaran. Dan justru karena kesadaran ditandai oleh intensionalitas, fenomen
harus dimengerti sebagai sesuatu hal yang menampakkan diri.
Maka sebagai hasil
dari metode fenomenologi Husserl ialah perhatian baru untuk intensionalitas
kesadaran. Kesadaran kita tidak dapat dibayangkan tanpa sesuatu yang disadari.
Supaya ada kesadaran, diandalkan tiga hal, yaitu bahwa ada suatu subyek yang
terbuka untuk obyek-obyek yang ada. Fakta bahwa kesadaran selalu terarah kepada
obyek-obyek disebut intensionalitas, Kiranya tidak tepat mengatakan bahwa
kesadaran mempunyai “intensionalitas”, karena kesadaran itu justru adalah
intensionalitas itu sendiri. Entah kita sungguh-sungguh melihat suatu
pemandangan itu atau tidak, tetapi bila kita masih menyadari perbedaan antara
kedua kemungkinan ini maka kita tetap menyadari sesuatu. Kesadaran tidak pernah
pasif, Karena menyadari sesuatu berarti mengubah sesuatu. Kesadaran itu bukan
berarti suatu cermin atau foto. Kesadaran itu suatu tindakan. Artinya terdapat
interaksi antara tindakan kesadaran dengan obyek kesadaran. Namun interaksi ini
tidak boleh dianggap sebagai kerjasama antara dua unsur yang sama penting.
Karena akhirnya, hanya ada kesadaran, obyek yang disadari itu hanyalah suatu
ciptaan kesadaran.[12]
Pengalaman subyek
harus selalu dipandang sebagai pengalaman yang terlibat secara aktif dengan
dunia. Kesadaran tidak tertutup dari dunia, tetapi selalu menuju, mengarah dan
membuka pada dunia. Oleh karena itu kita tidak boleh memikirkan pengalaman
dalam kesadaran manusia seperti obyek “dalam kardus”.
Pengalaman bukanlah
sebuah “celah” yang mana, dunia hadir terpisah darinya, menerobos masuk. Itu
tidak sama halnya dengan menarik sesuatu yang asing ke dalam kesadaran.
Pengalaman adalah pagelaran, yang mana bagi kita, sosok yang mengalami. Wujud
yang dialami ‘ada di sana’ dan di sana sebagaimana adanya dengan seluruh
muatannya dan modus berada di mana pengalaman sendiri, Lewat intensionalitas,
yang melekatkannya.
Ada beberapa aspek yang penting dalam intensionalitas
Husserl, yakni:
- Lewat intensionalitas terjadi objektivikasi. Artinya bahwa unsur-unsur dalam arus kesadaran menunjuk kepada suatu objek, terhimpun pada suatu objek tertentu.
- Lewat intensionalitas terjadilah identifikasi. Hal ini merupakan akibat objektivikasi tadi, dalam arti bahwa berbagai data yang tampil pada peristiwa-peristiwa kemudian masih pula dapat dihimpun pada objek sebagai hasil objektivikasi tersebut.
- Intensionalitas juga saling menghubungkan segi-segi suatu objek dengan segi-segi yang mendampinginya.
- Intensionalitas mengadakan pula konstitusi.
“Konstitusi”
merupakan proses munculnya fenomen-fenomen kepada kesadaran. Fenomen
mengkonstitusi diri dalam kesadaran. Karena terdapat korelasi antara kesadaran
dan realitas, maka dapat dikatakan konstitusi adalah aktivitas kesadaran yang
memungkinkan tampaknya realitas. Tidak ada kebenaran pada dirinya yang lepas
dari kesadaran. Kebenaran hanya mungkin ada dalam korelasi dengan kesadaran.
Dan karena yang disebut realitas itu tidak lain daripada dunia sejauh dianggap
benar, maka realitas harus dikonstitusi oleh kesadaran. Konstitusi ini
berlangsung dalam proses penampakkan yang dialami oleh dunia ketika menjadi
fenomen bagi kesadaran intensional.[13]
Sebagai contoh dari
konstitusi: “kita melihat suatu gelas, tetapi sebenarnya yang kita lihat
merupakan suatu perspektif dari gelas tersebut, kita melihat gelas itu dari
depan, belakang, kanan, kiri, atas, dan seterusnya”. Tetapi bagi persepsi,
gelas adalah sintesa semua perspektif itu. Dalam prespektif objek telah
dikonstitusi. Pada akhirnya Husserl selalu mementingkan dimensi historis dalam
kesadaran dan dalam realita. Suatu fenomen tidak pernah merupakan sesuatu yang
statis, arti suatu fenomen tergantung pada sejarahnya. Ini berlaku bagi sejarah
pribadi umat manusia, maupun bagi keseluruhan sejarah umat manusia. Sejarah kita
selalu hadir dalam cara kita menghadapi realitas. Karena itu konstitusi dalam
filsafat Husserl selalu diartikan sebagai “konstitusi genetis”. Proses yang
mengakibatkan suatu fenomen menjadi nyata dalam kesadaran, adalah merupakan
suatu aspek historis.[14]
Dalam melihat
hakekat dengan intuisi ini, Husserl memperkenalkan pendekatan reduksi,
yakni penundaan segala pengetahuan yang ada tentang obyek sebelum pengamatan
itu dilakukan. Reduksi ini juga dapat diartikan sebagai penyaringan atau
pengecilan. Reduksi ini merupakan salah satu prinsip dasar sikap fenomenologis,
dimana untuk mengetahui sesuatu, seorang fenomenolog bersikap netral dengan
tidak menggunakan teori-teori atau pengertian-pengertian yang telah ada
sehingga obyek diberi kesempatan untuk “berbicara tentang dirinya sendiri”.
Istilah lain yang
digunakan oleh Husserl adalah epoche, yang artinya melupakan pengertian-pengertian
tentang obyek untuk sementara dan berusaha melihat obyek secara langsung dengan
intuisi tanpa bantuan pengertian-pengertian yang ada sebelumnya.
Menurut husserl,
benda-benda tidaklah secara langsung memperlihatkan hakikat dirinya. Apa yang kita
temui pada benda-benda itu dalam pemikiran biasa bukanlah hakikat. Hakikat
benda itu ada dibalik yang kelihatan itu. Karena pemikiran pertama (first
look) tidak membuka tabir yang menutupi hakikat, maka diperlukan pemikiran
kedua (second look). Alat yang digunakan untuk menemukan hakikat pada
pemikiran kedua ini adalah intuisi. Dalam usaha untuk melihat hakikat dengan
intuisi, Husserl memperkenalkan pendekatan Reduksi, yaitu penundaan
segala ilmu pengetahuan yang ada tentang objek, sebelum pengamatan intuitif
dilakukan.
Reduksi juga dapat
diartikan penyaringan atau pengecilan. Istilah lain yang digunakan Husserl
adalah epoche yang artinya sebagai penempatan sesuatu di antara dua
kurung (metode bracketing). Maksudnya adalah melupakan pengertian-pengertian
tentang objek untuk sementara, dan berusaha melihat objek secara langsung
dengan intuisi tanpa bantuan pengertian-pengertian yang ada sebelumnya. Dengan
kata lain reduksi berarti kembali pada dunia pengalaman. Pengalaman adalah
tanah dari mana dapat tumbuh segala makna dan kebenaran. Ada 3 macam
reduksi yang ditempuh untuk mencapai realitas fenomen dalam pendekatan
fenomenologi itu, yaitu Reduksi Fenomenologis, Reduksi Eidetis, dan Reduksi
Fenomenologi Transedental.[15]
- Reduksi Fenomenologis.
Menyingkirkan
segala sesuatu yang subyektif.[16]
Sikap kita harus obyektif, terbuka untuk gejala-gejala yang harus “diajak
bicara”. Walaupun demikian, fenomen itu memang merupakan data, sebab sama
sekali tidak disangkal eksistensinya, hanya tidak diperhatikan. Namun obyek
yang diteliti hanya yang sejauh kita sadari.
Hal yang dilakukan
oleh Husserl dalam Reduksi Fenomenologis ini adalah:
1.
Dengan
“mengurung” atau bracketing yaitu meminggirkan keyakinan kita akan
totalitas obyek-obyek dan segala hal yang kita terlibat dengannya dari
pendirian alamiah ataupun bahkan pengalaman kita tentangnya.
2.
Menjelaskan
struktur dari apa yang tetap ada setelah dilakukan “pengurungan”.
- Reduksi Eidetis.[17]
Adalah
menyingkirkan seluruh pengetahuan tentang obyek yang diselidiki dan diperoleh
dari sumber lain. Maksud reduksi ini ingin menemukan eidos (intisari),
atau sampai kepada wesen-nya (hakikat). Karena itu, reduksi ini juga
disebut wesenchau, artinya di sini, kita melihat hakikat sesuatu.
Hakikat yang dimaksud Husserl bukan dalam arti umum, misalnya, “manusia adalah
hakikatnya dapat mati”, bukan suatu inti yang tersembunyi, misalnya, “hakikat
hidup”, bukan pula hakikat seperti yang dimaksud Aristoteles, seperti, “manusia
adalah binatang yang berakal”. Hakikat yang dimaksud Husserl adalah struktur
dasariah, yang meliputi isi fundamental, ditambah semua sifat hakiki, lalu
ditambah pula semua relasi hakiki dengan kesadaran serta objek lain yang
disadari. Tujuan sebenarnya dari reduksi adalah untuk mengungkap struktur dasar
(esensi, eidos, atau hakikat) dari suatu fenomena (gejala) murni atau yang
telah dimurnikan. Oleh karena itu, dalam reduksi eidetis yang harus dilakukan
adalah jangan dulu mempertimbangkan atau mengindahkan apa yang sifatnya
aksidental atau eksistensial. Dan caranya adalah dengan “menunda dalam tanda
kurung”. Dengan reduksi eidetis ini, dimana dalam khayalan semua
perbedaan-perbedaan dari sejumlah item dihilangkan sehingga tinggal suatu
esensi saja.
- Reduksi Fenomenologis Transedental.[18]
Adalah dengan
menyingkirkan seluruh reduksi pengetahuan. Segala sesuatu yang sudah dikatakan
oleh orang lain harus untuk sementara dilupakan. Kalau reduksi-reduksi ini
berhasil, maka gejala tersebut dapat memperlihatkan diri menjadi fenomen. Dalam
reduksi yang ketiga ini sudah bukan lagi mengenai objek atau fenomen, tetapi
khusus pengarahan intensionalitas ke subjek mengenai akar-akar
kesadaran, yakni mengenai kesadaran sendiri yang bersifat transedental. Fenomenologi
harus menganalisis dan menggambarkan cara berjalannya kesadaran transedental.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Menurut Husserl,
fenomena adalah realitas sendiri yang tampak, tidak ada selubung atau tirai
yang memisahkan subyek dengan realitas, karena realitas itu sendiri yang tampak
bagi subyek.
Dari pemaparan di
atas dapat kami simpulkan bahwa ciri khas pemikiran Fenomenologi Husserl
tentang bagaimana semestinya menemukan kebenaran dalam filsafat terangkai dalam
satu kalimat “Nach den sachen selbst” (kembalilah kepada
benda-benda itu sendiri).
B.
Kritik
dan Saran
Bagaimana pun juga kami sangat menyadari bahwa karya ini masih sangat jauh dari sempurna. Oleh
karena itu kami mengharapkan kritikan dan masukan agar kedepan dapat menjadi
lebih baik lagi. Dan semoga apa yang kami berikan dapat menjadi manfaat bagi
pembaca.
DAFTAR
PUSTAKA
Bertens,
K., Filsafat Barat Abad XX: Inggris-Jerman, Jakarta: Gramedia, 1981.
Hadiwijono,
Harun, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Yogyakarta: Kanisius, 1980.
Adian,
Donny Gahral, Pilar-Pilar Filsafat Kontemporer. Jogjakarta :
Jalasutra, 2002
Drijarkara,
N. SJ., Percikan Filsafat, Jakarta: PT Pembangunan, 1981
Bagus,
Lorens, Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia, 1996.
Bagus, Lorens, “Edmund
Husserl: Kembali pada Benda-benda Itu Sendiri”, Para Filosof Penentu Gerak
Zaman . Yogyakarta: Kanisius, 1992.
Delfgaauw, Bernard, Filsafat Abad 20, terj.
Soejono Soemargono, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1988.
Bernet, Rudolf, Iso Kern, and Eduard
Marbach.. An Introduction to Husserlian Phenomenology. Evanston, Ill.:
Northwestern University Press,1993.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar